Thursday 12 November 2015

KONFLIK LAUT CINA SELATAN DALAM PANDANGAN REALISME


KONFLIK LAUT CINA SELATAN DALAM PANDANGAN REALISME 



KONFLIK LAUT CINA SELATAN DALAM PANDANGAN REALISME

Latar Belakang 

Konflik Laut China Selatan (LCS) telah memberikan pengaruh yang sangat luas bagi lingkungan strategis di kawasan Asia. Hingga saat ini konflik LCS masih menarik utnuk dikaji paling tidak karena beberapa alasan.
-           Pertama, konflik di kawasan tersebut melibatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Taiwan, dan China.
-           Kedua, peluang terjadinya konflik terbuka dan melibatkan instrumen militer antara negara-negara yang terlibat masih berpotensi terjadi.
-           Ketiga, terdapat keterlibatan negara-negara major power di dalam konflik tersebut.
-           Keempat, belum ada bentuk institusi atau instrumen sosial yang cukup kredibel dalam menyelesaikan konflik di wilayah LCS.
Hingga saat ini, keenam negara yang mengklaim kawasan tersebut tetap berada pada posisi masing-masing. Filipina misalnya, tetap mengklaim bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan Filipina Barat.  Tentunya hal ini membuat China keberatan atas klaim tersebut. Selain Filipina, Vietnam juga melakukan hal yang serupa.  Vietnam melakukan klaim bahwa LCS merupakan kawasan Vietnam Utara berdasarkan bukti sejarah. Vietnam mengklaim telah menguasai kawasan tersebut terutama kepulauan Spratly dan Paracel sejak abad ke -17. Begitupula dengan Malaysia dan Brunei Darussalam yang melakukan klaim wilayah tersebut atas dasar wilayah zona eksklusif ekonomi sesuai dengan UNCLOS 1982.
Persoalan konflik LCS tidak hanya terletak pada posisi masing-masing pihak yang berkonflik, lebih dari itu hingga saat ini belum ada mekanisme institusi sosial yang cukup kredibel sebagai cara untuk menyelesaikan persoalan konflik di kawasan tersebut. Berangkat dari persoalan diatas, maka ada beberapa persoalan yang menarik untuk didiskusikan, bagaimana perkembangan konflik di kawasan LCS? Apa tantangan-tantangan utama dalam persoalan konflik LCS? Apakah terdapat peluang terhadap terjadinya sebuah transformasi konflik ke arah perdamaian pada konflik di kawasan tersebut? Beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan persoalan-persoalan yang coba untuk diulas dalam tulisan kecil ini. Sebelum membahas lebih jauh tentang persoalan-persoalan diatas, maka pada bagian berikutnya dari tulisan ini akan membahas berbagai pendekatan-pendekatan di dalam studi ilmu hubungan internasional untuk menjelaskan persoalan konflik LCS.   



Realisme

Realisme adalah reaksi terhadap keabstrakan dan ”kedunia-lainan” dari filsafat idealisme. Titik tolak utama realisme adalah bahwa objek-objek dari indera muncul dalam bentuk apa adanya ( Knight, 2007:81). Realisme adalah suatu aliran filsafat yang luas yang meliputi materialisme disatu sisi dan sikap yang lebih dekat kepada idealisme objektif di pihak lain. Realisme adalah pandangan bahwa objek-objek indera adalah riil dan berada sendiri tanpa bersandar kepada pengetahuan lain atau kesadaran akal . Diketahuinya atau menjadi objek pengalaman, tidak akan mempengaruhi watak sesuatu benda atau mengubahnya. Benda-benda ada dan kita mungkin sadar dan kemudian tidak sadar akan adanya benda-benda tersebut, tetapi hal itu tidak mengubah watak benda-benda tersebut. Benda-benda atau bojek memang mungkin memiliki hubungan dengan kesadaran, namun benda-benda atau objek tersebut tidak diciptakan atau diubah oleh kenyataan bahwa ia diketahui oleh subjek ( Titus, 1984:335-336 ).
Aliran Realisme dalam filsafat bersanding dekat dengan aliran Idealisme meski dalam posisi yang dikotomik. Dalam pengertian filsafat, realisme berarti anggapan bahwa objek indera kita adalah real.; benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannnya dengan pikiran kita ( Titus, 1984:328 ). Realisme menegaskan bahwa sikap common sense yang diterima orang secara luas adalah benar, artinya bahwa bidang alam atau objek fisik itu ada, tak bersandar kepada kita, dan bahwa pengalaman kita tidak mengubah fakta benda yang kita rasakan. 
Dalam perspektif epistemologi maka aliran realisme hendak menyatakan bahwa hubungan antara subjek dan objek diterangkan sebagai hubungan dimana subjek mendapatkan pengetahuan tentang objek murni karena pengaruh objek itu sendiri dan tidak tergantung oleh si subjek. Pemahanan subjek dengan demikian ditentukan atau dipengaruhi oleh objek ( Joad, 1936:366 ).
Realisme dalam filsafat terdiri dari beberapa jenis, mulai dari personal realisme , realisme Platonik atau konseptual atau klasik Asumsi yang dipakai adalah bahwa yang riil itu bersifat permanen dan tidka berubah sehingga ide atau universal adalah lebih riil daripada yang individual . Selain itu muncul pula jenis relisme yang lebih menarik yang diwakili oleh Aristoteles. Menurutnya dunia yang riil adalah dunia yang dirasakan sekarang, dan bentuk serta materi tak dapat dipisahkan. Realitas justru terdapat dalam benda-benda kongkrit atau dalam perkembangan benda-benda itu ( Titus, 1984:331).
Di Amerika Serikat sendiri pada dasawarsa pertama dari abad ke-20 muncul dua gerakan realis yang kuat, yaitu new realism atau neorealism dan critical realism. Neorealism adalah serangan terhadap idealisme dan critical realism adalah kitrik terhadap idealisme dan neorealism.  Kelompok neorealism menolak subjektivism, monisme , absolutisme dan pandangan-pandangan yang menyatakan bahwa benda-benda yang nonmental itu diciptakan atau diubah oleh akal yang mengetahui. Mereka mendukung doktrin common sense tentang dunia yang riil dan objektif dan diketahui secara langsung oleh rasa indrawi. Pengetahuan tentang sesuatu objek tidak mengubah objek tersebut. Pengalaman dan kesadaran bersifat  selektif dan bukan konsitutif yang berarti bahwa subjek memilih untuk memperhatikan benda-benda tertentu lebih dari pada yang lain dan subjek tidak menciptakan atau mengubah benda-benda tersebut hanya karena subjek mengalaminya.
Objek tidak dipengaruhi oleh adanya pengalaman subjek atau tidak adanya pengalaman subjek tentang benda tersebut. Jika aliran idealisme menekankan akal atau jiwa sebagai realitas pertama, maka aliran realisme cenderung untuk menganggap akal sebagai salah satu dari beberapa benda yang keseluruhannya dinamakan alam dan juga penekanan bahwa dunia luar berdiri sendiri dan tidak tergantung pada subjek. Perhatian diarahkan bukan kepada akal yang memahami akan tetapi kepada realitas yang dipahami. Dengan demikian maka realisme mencerminkan objektivisme yang mendasari dan menyokong sains modern.
Realisme menerima kenyataan bahwa dunia ini berbeda – beda tergantung kepada pengalaman maisng-masing subjek. Realisme bertentangan secara tajam dengan idealisme. Realisme adalah juga sikap untuk menjaga subjek dari penilaiannya terhadap benda-benda, dengan membiarkan objek-objek berbicara sendiri kepada subjek. Realisme melukiskan dunia ini sebagaimana adanya dan tidak menurut keinginannya. Penekanannya, kepada dunia luar yang berdiri sendiri .
Dalam filsafat pendidikan Realisme mendefinisikan dirinya sebagai aliran filsafat pendidikan dengan basis dasar 3 kategori metafisika dan epistemologi bahwa dunia luar berdiri tanpa tergantung keberadaan kita, realitas dapat diketahui melalui pikiran manusia. ( Ornstein, 1985:191).

Laut Cina Selatan 



Laut Cina Selatan merupakan bagian dari samudra pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3.5 juta km².  Berdasarkan ukurannya, Laut Cina Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas atau terluas kedua setelah kelima samudra. Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai potensi yang sangat besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas alam dan selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi minyak dunia, perdagangan, dan pelayaran internasional.
Secara geografis Laut Cina Selatan terbentang dari arah barat daya ke Timur Laut, yang batas Selatannya 3° Lintang Selatan antara Sumatra Selatan dan Kalimantan (Selat Karimata), dan batas utaranya ialah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan ke pesisir Fujian di Cina Daratan. Laut Cina Selatan terletak di Sebelah Selatan Republik Rakyat Cina (RRC) dan Taiwan; di sebelah barat Filiphina; di sebelah barat, Laut Sabah (Malaysia), Sarawak (Malaysia), dan Brunei; di sebelah utara Indonesia; di sebelah Timur Laut Semenanjung Malaya (Malaysia) dan Singapura; dan di sebelah Timur Vietnam.
Kawasan Laut Cina Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan kawasan yang memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis. Sehingga menjadikan kawasan ini mengandung potensi konflik serkaligus potensi kerja sama. Dengan kata lain, kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam yang terdapat didalamnya, serta peranannya yang sangat penting sebagai jalur perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan kawasan Laut Cina Selatan sebagai objek perdebatan regional selama bertahun-tahun. 
Hal ini dapat diketahui sejak tahun 1947 hingga saat ini tahun 2011.  Dimana terdapat pertikaian atau saling klaim antara negara yang mengaku memiliki dasar kepemilikan berdasarkan batas wilayah laut atau perairan, seperti Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Filiphina, Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Selain saling klaim di antara negara-negara yang berlokasi di perairan Laut Cina Selatan tersebut, juga terdapat kepentingan-kepentingan negara-negara besar seperti : Amerika Serikat, Rusia, negara-negara Eropa Barat, Jepang, Korea, Taiwan dalam hal keperluan pelayaran dan keperluan kandungan-kandungan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi yang terkandung di dalam wilayah Laut Cina Selatan tersebut.
Perairan Laut Cina Selatan, di klaim oleh sejumlah negara. Republik Rakyat Cina (RRC) berebut kepulauan Spartly dengan Brunei, Filiphina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan. Sementara itu, kepulauan Paracel di klaim oleh Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan, dan Vietnam. Ditelusuri dari akar permasalahannya, konflik yang sebenarnya adalah mengenai klaim-klaim di wilayah perairan dan kepulauan di kawasan Laut Cina Selatan yang terjadi mulai sejak Desember tahun 1947 dan terus berlanjut hingga saat ini tahun 2011.  




Analisis Konflik  Laut Cina Selatan dalam Pandangan  Realisme

Konflik laut china selatan yang hingga kini tak kunjung usai antara 4 negara anggota ASEAN dan China selalu menjadi isu utama keamanan yang dibahas antar negara-negara anggota ASEAN. Benturan kepentingan antara negara-negara kawasan ASEAN dengan RRC dalam perebutan wilayah laut China Selatan sangat rentan sekali melibatkan militer masing-masing negara, belum lagi campur tangan negara super power Amerika Serikat dalam kasus ini mengakibatkan konflik ini semakin memanas karena AS mempunyai kepentingan ekonomi, politik dan militer di laut china selatan. Maka tidak dapat dipungkiri jika konflik ini semakin meluas dan menjadi konflik terbuka menggunakan kekuatan militer. Karena saat ini, jika kita melihat di tataran Global AS dan RRC selalu bersaing dalam aspek ekonomi maupun militer yang notabene kedua negara ini sangat berbenturan ideologi.
Laut china selatan memang merupakan kawasan yang strategis dimana dapat memberikan pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap kepentingan kawasan dan AS, negara-negara anggota ASEAN maupun RRC. Laut China Selatan secara geografis berada ditengah-tengah antara China dan negara-negara ASEAN dimana kawasan ini sangat strategis karena merupakan jalur pelayaran perdagangan dan jalur komunikasi internasional yang menghubungkan samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Jika dilihat dari kacamata realis alasan China meningkatkan kekuatan militernya karena China sebagai negara komunis merasa cemas akan keselamatan dalam mengakomodasi kepentingan nasionalnya dalam hubungan persaingan dengan negara-negara lainnya terutama AS. China menganggap dengan semakin kuatnya kekuatan militer secara otomatis akan ditakuti oleh negara-negara lain dan akan memperbesar peluang untuk kepentingan nasionalnya dapat tercapai, hal ini nampak ketika dalam kasus sengketa laut china selatan china mengirim kapal induk miliknya di kawasan laut china selatan. China sebagai negara komunis berusaha agar bagaimanapun caranya akan terus memperbesar power walau sekalipun AS terlibat dalam kasus sengketa ini, karena dalam militer pun China sangat berkembang pesat dan bersaing dengan AS. maka dari itu China tidak gentar untuk melawan keempat Negara anggota ASEAN karena dalam militerpun China jauh lebih kuat jika dibandingkan militer gabungan dari keempat negara anggota ASEAN. Dalam pandangan realisme negara China akan terus memperjuangkan kepentingan nasionalnya agar China dapat tetap Survive sebagai negara komunis yang memiliki kekuatan besar dan akan terus memperbesar power selama barang-barang China masih beredar luas di pasaran global.
China terlihat sangat cemas sekali jika keamanan negaranya terganggu, terlihat ketika pesawat pengintai dan kapal militer milik AS masuk Zona Ekonomi Eksklusif milik China, dengan cepat china langsung melakukan counter dengan mengusir ataupun memotong penerbangan militer AS yang berada perbatasan China. Hal ini menunjukkan bahwa China sangat siap menjaga keamanan nasionalnya dari militer asing apapun alasan mereka berada di kawasan China termasuk Zona Ekonomi Eksklusif milik China untuk melindungi rakyatnya dari ancaman luar. Namun, disisi lain kecemasan china ini membuktikan bahwa china adalah negara yang serakah dimana sangat takut sekali jika keuntungannya di ambil alih oleh negara.
Dalam pandangan power centrism sangat nampak jelas china lah yang mempunyai power terbesar dalam konflik laut china selatan dengan 4 negara anggota ASEAN (Filipina, Vietnam, malaysia, Brunei) dan juga taiwan.  Dilihat dari kekuatan militernya saja china sudah memiliki kartu emas untuk memenangkan sengketa ini ketika nantinya konflik ini pecah menjadi perang militer. Larangan China atas operasi kapal militer AS di ZEE China membuktikan bahwa sistem internasional yang dalam hal ini PBB dianggap tidak memiliki peran penting dan china lah yang memiliki power centrism terkuat, walaupun dalam kasus ini AS mengklaim larangan China itu tidak berdasar karena dalam United Nations Convention on the Law of the Sea  (UNCOS) aturan tentang operasi kapal militer di kawasan ZEE tidak diatur. China melihat AS sebagai pelanggar kedaulatan yang masuk tanpa izin ke dalam negaranya dengan mengoperasikan kapal dan pesawat militer di wilayah China tanpa mempunyai alasan yang jelas, maka dari itu china berhak melarang dan juga menangkap militer-militer AS. Kegagalan menegakkan hukum dan norma-norma internasional PBB dapat membahayakan kepentingan AS di wilayah-wilayah lain. Dalam perspektif realis, China menganggap semua negara itu sama dan memandang kondisi sistem internasional itu bersifat anarki karena setiap negara berhak mengatur kedaulatannya masing-masing tanpa campur tangan organisasi internasional dan hanya negara-negara hegemon saja yang memiliki power terutama china. Selain itu, China memainkan peran utama yang memainkan power nya sebagai aktor dalam kasus ZEE ini tanpa menghiraukan PBB sebagai suprastate dalam sistem internasional yang telah memiliki aturan-aturan hukum tentang wilayah laut dan perairan.

 
Kesimpulan

China merupakan sebuah negara yang  unitary actor dan rasional yang haus akan  power. Maka dari itu china berusaha untuk memperbesar powernya dengan jalan meningkatkan kapabilitas militer melalui penambahan alat-alat militer dan juga menambah tenaga militer merka. Disamping itu untuk mengakomodasi kepentingan politik dan ekonomi nasional, china memperbesarnya dengan cara mengambil alih wilayah laut china selatan sepenuhnya yang hingga ini masih menjadi konflik. Hal ini sesuai dengan pandangan realis tentang negara adalah egois yang mementingkan kepentingan nasionalnya agar dapat terakomodasi sepenuhnya dan power dimiliki oleh negara-negara hegemon dimana kekuatan ini digunakan untuk memperbesar kepentingannya. Namun realisme gagal menjelaskan mengenai groupism bahwa dengan beraliansi negara dapat membentuk sebuah balance of power, karena china tanpa menjalin aliansi dengan negara lain dapat melawan negara-negara anggota ASEAN yang beraliansi. China lebih memiliki power  besar dibandingkan lima negara lawan yang beraliansi hingga balance of power yang ada tidak seimbang.






No comments:

Post a Comment