BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum syara’ adalah hukum
yang sangat penting untuk dipelajari terlebih lagi bagi mukallaf, yaitu
bagi orang yang sudah baligh (dewasa) dan berakal. Karena hukum syara’ adalah
peraturan dari Allah yang sifat mengikat bagi semua umat yang beragama Islam.
Aktivitas seorang muslim selalu terikat dengan hukum syara’. hukum syara’
ini mengikat aktivitas kita, baik perkataan kita, perbuatan kita harus memiliki
dasar hukum syara’ yang jelas, apakah terkategori wajib, mubah, mandub, makruh,
dan haram. semua ini disebut dengan ahkmul khamsah. kenapa sih harus terikat?
keterikatan kita kepada hukum syara’ lah yang menandakan bahwa kita adalah
seorang muslim sejati, muslim sejati dilihat dari indeks ketaatannya kepada
hukum syara atau dalam kata lain ketaqwaannya.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dan Pembagian Hukum Syara’
2. Perbedaan antara aliran Hanafi, Syafi’i dan
Ibn Hazm
3. Penjelasan tentang hukum taklifi dan wadhi
beserta contohnya
4. Pengertian perbuatan hukum, dan cara
merumuskan rukun (orang yang berhak merumuskan hukum syariah)
5. Pengertian mukallaf dan masalah kewenangan
(ahliyyah) serta ‘awaridhnya
6. Batas baligh ditinjau dari aspek (ibadat,
munakahat, mu’amalat dan jinayat)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ruang Lingkup Hukum Syara’
1.
Pengertian Hukum Syara’
Syara’ atau syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah swt
yang diturunkan kepada nabi Muhammad sebagai rasulnya yang wajib diikuti oleh
setiap orang Islam berdasarkan keyakinan yang berisikan akhlak baik dalam
hubungannya dengan Allah maupun manusia atau lingkungannya. Hukum syara’
menurut istilah para ahli ushul fiqh adalah : khithab syar’i yang bersangkutan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan atau
ketetapan.
Hukum syara’ juga dapat diartikan seperangkat peraturan berdasarkan
ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku
serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam
2.
Pembagian Hukum Syara
Secara singkat penulis menggambarkan sedikit tentang pembagian hukum syara’,
antara lain sebagai berikut:
a.
Wajib, yaitu sesuatu yang jika dikerjakan seseorang, maka ia mendapat
pahala dan jika meninggalkannya, maka mendapat siksa.
b.
Haram, yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan, maka akan mendapatkan pahala,
dan jika melakukannya, maka akan mendapatkan siksa seperti mencuri.
c.
Mandub yaitu sesuatu yang jika dikerjakan seseorang, maka ia akan
mendapatkan pahala, dan jika ia meninggalkannya, maka tidak mendapat siksa.
Misalnya shalat dhuha.
d.
Makruh, yaitu sesuatu yang jika ditinggalkan, maka akan mendapatkan pahala,
dan jika dikerjakan, maka tidak mendapat siksa. Misalnya kecemberutan wajah
seorang anak di depan ayah dan ibunya.
e.
Mubah, yaitu sesuatu yang jika dikerjakan, maka tidak mendapatkan pahala,
dan jika ditinggalkan, tidak mendapat siksa. Misalnya makan dan minum.
3. Perbedaan antara Aliran Hanafi, Syafi’i dan
Ibn Hazm
a. Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu
hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan
qaidah qiyas dan menggunakan qaidah istihsan. Alasannya, qaidah umum (qiyas)
tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat
mendahulukan qiyas apabila suatu hadits mereka nilai sebagai hadits ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqh) di kalangan
Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas,
istihsan, ijma’i. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan
sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam
meng-istinbat-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
b. Mazhab Syafi'i
Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab
usul fiqh ar-Risalah.
Dalam buku ini asy-Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta
beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah(yang
bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam asy-Syafi’i pertama sekali
mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada
sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak
ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’
yang diterima Imam asy-Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat,
bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama usul fiqh, yaitu kesepakatan seluruh
mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’
seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidakjuga ditemukan hukumnya,
maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad.
Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam asy-Syafi ’i tidak seluas yang digunakan
Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara
meng-istinbat-kan hukum syara’.
c. Ibn Hazm
Pandangan Ibnu Hazm mengenai Sunnah sama dengan
pandangan Imam Syafii, pendiri ilmu ushul fikih. Bagi dua tokoh ini, al-Quran
dan Sunnah adalah nushus (teks-teks) yang satu sama lain saling
melengkapi. Ibnu Hazm meletakkan sunnah sejajar dengan al-Quran karena keduanya
sama-sama berasal dari Allah Swt. (wahyu). Bedanya adalah al-Quran memiliki
aspek i’jaz sedangkan Sunnah tidak.
Ibnu Hazm membagi Sunnah menjadi tiga tingkatan, yaitu qaul (perkataan), fi’il (perbuatan) dan taqrir (ketetapan) nabi Muhammad Saw.. Sunnah
yang bisa menunjukkan hukum wajib (yufidul wujub) hanyalah Sunnah Qauliyah. Adapun perbuatan
nabi, dianggap tidak menunjukkan kewajiban kecuali jika ada perkataan nabi yang
mengiringinya, seperti sabda nabi tentang cara salat; صَلُّوا
كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي (salatlah
kamu sebagai mana kamu sekalian melihatku salat). Sementara taqrir nabi hanya bisa menunjukkan aspek ibahah (kebolehan) satu perbuatan saja, tidak
bisa mewajibkan, mensunnahkan dan melarang sesuatu. Ibnu Hazm membagi sunnah
dari segi banyaknya perawi ke dalam dua jenis; mutawatir dan ahad.
4. Penjelasan tentang Hukum Taklifi dan Wadhi
a.
Pengertian Hukum Taklifi
Hukum Taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf,
atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan
dan meninggalkannya.
Contoh hukum yang menghendaki dilakukannya perbuatan oleh mukallaf terdapat
dalam surat At-Taubah ayat 103 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”.
1)
Macam-macam Hukum Taklifi
Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul fiqh/mutakallimin
ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
- Ijab, adalah tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat An-Nur: 56 yang artinya: “Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat….”
- Nadb adalah tuntutan untuk melaksanakan sesuatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang meninggalkannya. Misalnya: dalam surah al-Baqarah ayat 282 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya….”
- Ibahah adalah khitab Allah yang bersifat fakultatif mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat atau tidak berbuat secara sama. Misalnya firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 2, yang artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji bolehlah kamu berburu”.
- Karanah adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dari tuntutan ini disebut juga karanah, misalnya hadis Nabi Muhammad saw. yang artinya: “perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Al-Baihaqi dan Hakim).
- Tahrim adalah tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut itu disebut dengan haram. Contoh memakan bangkai dan sebagainya. Misalnya, firman Allah dalam surah Al-An’am: 151, tentang larangan membunuh. Yang artinya: “Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah…..”
b.
Pengertian Hukum Wadh’i
Selain hukum Taklifi dalam syariat juga ada hukum wadh’i yakni hukum yang
mengandung sebab, syarat dan halangan terjadinya hukum dan hubungan hukum.
Hukum wadh’i juga merupakan titah Allah yang berhubungan dengan sesuatu
yang berhubungan atau berkaitan dengan hukum-hukum taklifi. Hukum wadh’i
adalah firman Allah swt. yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebab, syarat
atau penghalang dari sesuatu yang lain. Sebab ialah sesuatu yang tampak
yang dijadikan tanda adanya hukum. Misalnya kematian menjadi sebab adanya
kewarisan, akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami isteri.
Syarat adalah sesuatu yang kepadanya tergantung suatu hukum. Misalnya
syarat mengeluarkan zakat ialah jika telah mencapai nizab (jumlah tertentu) dan
haul (waktu tertentu), syarat sholat sempurna menghadap khiblat. Halangan atau
mani’ adalah sesuatu yang dapat menghalangi hubungan hukum. Misalnya pembunuhan
menghalangi hubungan kewarisan, keadaan gila menghalangi untuk melakukan
perbuatan atau tindakan hukum. Mani’ adalah sesuatu yang ditetapkan sebagai
penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya suatu sebab.
1)
Macam-Macam Hukum Wadh’i
a)
Sebab
Maksudnya sesuatu yang kepadanya bergantung
suatu hukum. Sebab juga dapat diartikan suatu hukum yang dijadikan syar’i sebagai tanda
adanya hukum. Misalnya dalam firman Allah dalam surat al-Isra: 78, yang
artinya: “Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir.” Pada ayat tersebut,
tergelincir matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b)
Syarat
Yaitu sesuatu yang tampak dan sebagai tanda adanya
hukum. Dalam arti lain syarat adalah sesuatu yang berada diluar hukum syara’
tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Misalnya firman Allah
dalam surat an-Nisa: 6 yang artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka
cukup umur untuk kawin (dewasa).” Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak
yatim menjadi syarat hilangnya perwalian atas dirinya.”
c)
Mani’ (penghalang)
Halangan disini mempunyai arti sesuatu yang
dapat menghalangi hubungan hukum, yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan
tidak ada hukum atau tidak ada sebab. Misalnya dalam hadis nabi yang berbunyi:
“Pembunuh tidak mendapat waris.” Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan
sebagai penghalang untuk mendapatkan warisan.
d)
Rukhsah
Rukhsah berarti kelapangan, kelonggaran,
kemudahan dan pengecualian. Dalam pengertiannya Rukhsah ialah hukum yang di
tetapkan selaras dengan sesuatu unsure yang agak berat sebagai pengecualian
dari hukum asal yaitu Azimah sekadar yang mustahak.
e)
Azimah
Menurut ulama ada 4 bagian azimah yaitu :
1.
Hukum yang disyariatkan sejak semula untuk kemaslahatan seluruh umat
manusia seperti muamalat, ibadah.
2.
Hukum yang disyariatkan karena adanya suatu sebab yang muncul seperti maki
berhala orang lain.
3.
Hukum yang disyariatkan sebagai pembatal bagi hukum sebelumnya sehingga
mansukh seakan-akan tidak pernah ada.
4.
Hukum pengecualian dari hukum yang berlaku umum.
B.
Al-Hakim (Pembuat Hukum)
1.
Pengertian
Bila ditinjau dari segi bahasa, Hakim
mempunyai dua arti yaitu:
وَاضِعُ الْأَحْكَامِ وَمُثْبِتُهَا وَ
مُنْشِئُهَا وَ مَصْدَ رُهَا
Artinya : “ Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum”.
اَلَّذِيْ يُرْدِكُ الْأَحْكَامِ وَ يُظْهِرُهَا وَ يُعْرِفُهَا وَيُكْشِفُ
عَنْهَا
Artinya :“yang menemukan Hukum, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkapkan”.
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul fiqh, sebab
berkaitan dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum
syara’, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya.
Dalam ilmu Ushul fiqh, hakim disebut pula dengan syar’i. Dari pengertian pertama
tentang hakim diatas, dapat diketahui bahwa hakim adalah Allah SWT. Sebagai
pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf.
Karena didalam agama Islam tidak ada syari’at kecuali dari Allah SWT, baik yang
berkaitan dengan Hukum-hukum taklif (wajibb, sunnah, haram, makruh, dan
mubah), maupun yang berkaitan dengan hokum wadh’I (sebab, syarat, Halangan,
sah, batal, fasid, azimah, dan rukhsah).
Maka Atas dasar yang merupakan
keharusan untuk menjadikan al-hakim atas perbuatan manusia serta atas sesuatu
yang berkaitan dengannya dari sisi terpuji dan tercela adalah Allah Ta’ala,
bukan manusia. Atau dengan kata lain syara’lah yang menentukan hukum, bukan
akal.
2.
Pengertian Mukallaf/Makhum ‘Alaih (Subjek Hukum)
Subjek hukum atau pelaku hukum ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah
untuk berbuat dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan
tuntutan Allah itu. Dalam istilah Ushul
Fiqh subjek hukum itu disebut Mukallaf atau orang-orang yang dibebani
hukum yaitu orang yang kepadanya diperlakukan hukum.
Orang mukalaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik
yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh
tindakan mukallaf harus dipertanggung jawabkan. Apabila ia mengerjakan perintah
Allah, maka ia mendapatkan imbalan pahala dan kewajibannya terpenuhi, sedangkan
apabila ia mengerjakan larangan Allah, maka ia mendapatkan resiko dosa dan
kewajibannya belum terpenuhi.
Seorang manusia belum dikenalkan taklif (pembebanan hukum) sebelum ia
cakapk untuk bertindak hukum. Untuk itu, para ulama Usul Fiqih mengemukakan
bahwa dasar pembebanan hukum tersebut adalah akal dan pemahaman. Maksudnya,
seseorang baru bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian orang
yang tidak atau belum berakal seperti orang gila dan anak kecil tidak dikenakan
taklif. Karena mereka tidak atau belum berakal, maka mereka dianggap tidak bisa
memahami taklif dari syara’. Termasuk kedalam hal ini adalah orang yang dalam
keadaan tidur, mabuk dan lupa.
3.
Pengertian Ahliyyah
Secara etimologi berarti "kecakapan untuk menangani suatu
urusan". Ahliyyah adalah suatu sifat yang dimiliki
seseorang, yang dijadikan ukuran oleh Allah SWT untuk menentukan seseorang itu
telah cakap dikenai tuntutan syarak (hukum islam). Ahliyyah merupakan
sifat yang menunjukan seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga
seluruh tindakannya dapa dinilai oleh syara’. Dengan sifat ini, seseorang juga
telah dianggap sah melakukan tindakan hukum, seperti transaksi yang bersifat
pemindahan hak kepada orang lain. Sifat kecakapan itu sendiri datang kepada
yang bersangkutan melalui tahapan-tahapan tertentu, tidak sekaligus.
Ahliyyah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Ahliyyah Al-Wujub
Kemampuan diri ini wujud berdasarkan keadaan
seseorang semata-mata sebagai manusia, baik yang sudah dewasa ataupun masih
kanak-kanak, mumayyiz atau tidak, laki-laki atau perempuan. Juga, baik ia
seorang merdeka atau budak, meskipun hak orang merdeka lebih sempurna.
Kemampuan ini tetap akan melekat pada setiap orang sampai mati. Menurut fuqaha
Hanafiyah, ia terus melekat sampai hutang dan wasiatnya ditunaikan setelah ia
mati.
Selanjutnya, ahliyyah Al-Wujub itu mempunyai
tahap yang sesuai dengan proses peringkat manusia. Mula-mula, seseorang itu
sebagai janin (dalam kandungan), kemudian bayi yang belum mumayyiz, kemudian
anak-anak yang mumayyiz, seterusnya sebagai orang dewasa. Sewaktu masih janin,
ahliyyah Al-Wujub belumlah sempurna dan akan menjadi sempurna setelah seseorang
itu lahir sebagai manusia.
b. Ahliyyah Al-Ada’
Ahliyyah Al-Ada’ adalah sifat kecakapan bertindak
hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan
seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Apabila ia
mengerjakan perbuatan yang dituntut syara’ maka ia dianggap telah memenuhi
kewajiban dan untuk itu ia diberi pahala. Sebaliknya, bila melanggar
tuntutan syara’, maka ia dianggap berdosa dan akan mendapatkan siksa. Dengan
kata lain, ia dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.
Menurut kesepakatan ulama ushul fiqih, yang
menjadi ukuran dalam menentukan apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada’
adalah:
1) Aqil Baligh (بــــــالغ
عـــــاقل)
Baligh merupakan istilah dalam hukum Islam yang
menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh" diambil
dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai",
maksudnya "telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan".
Secara hukum Islam, seseorang dapat dikatakan baligh apabila :
a.
Mengetahui,
memahami, dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, serta
b.
Telah
mencapai usia 15 tahun ke atas dan atau sudah mengalami mimpi basah. (bagi laki-laki)
c. Telah mencapai usia 9 tahun ke atas dan atau sudah
mengalami "menstruasi". (bagi perempuan)
Baligh adalah satu masa di mana seorang anak
dibebani kewajiban (taklif) syari’at dan akan dihisab yang mana baligh
mempunyai tanda-tanda yang dapat dikenal.
2) Cerdas (فـــطانة)
Cerdas adalah sempurna perkembangan akal budinya
(untuk berfikir, mengerti dsb), tajam pikiran.
Kesepakatan mereka itu didasarkan pada firman Allah dalam
surat An-Nisa’: 6:
“Dan ujilah anak yatim itu sama mereka cukup umur untuk
menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya....” (QS. An-Nisa’: 6)
Kalimat “cukup umur” dalam ayat di atas, menurut
ulama ushul fiqih, antara lain ditunjukkan bahwa seseorang telah bermimpi
dengan mengeluarkan mani untuk pri dan keluar haid untuk wanita. Orang seperti
itulah yang dianggap cakap untuk melakukan tindakan hukum sehingga seluruh
perintah dan larangan syara’ dapat ia pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dapat
ia laksanakan dengan benar. Apabila ia tidak melaksanakan perintah dan
melanggar larangan, maka ia harus bertanggung jawab, baik di dunia maupun di
akhirat. Jadi Tolak ukur ahliyyah al-ada’ adalah akal, bila akal sempurna maka
sempurna pulalah ahliyyah ini, begitu sebaliknya.
Hubungan manusia dengan ahliyyah al-ada’
(kemampuan berbuat) yang ada padanya. Dilihat dari segi ini manusia terbagi
kepada tiga bagian:
a. Tidak punya atau hilang ahliyyah al-ada’nya sama
sekali.
Misalnya, anak-anak pada masa kanak-kanaknya dan orang gila
pada masa gilanya, karena mereka tidak ada akal. Oleh sebab itu, perbuatan dan
perkataannya tidak menimbulkan konsekuensi hukum dan semua akad atau perikatan
yang dilakukannya tidak sah atau batal. Bila mereka melakukan tindakan pidana
atas jiwa dan hartanya, yang dikenakan padanya hanya hukuman denda, yaitu diyat
yang dibunuhnya dan mengganti harta yang rusak atau diambilnya, bukan hukuman
badan, bukan pula hukum qish.
b. Mempunyai ahliyyah al-ada’ yang tidak sempurna
Misalnya mumayyiz dan orang yang kurang akal. Akal mereka
tidak cacat dan juga tidak hilang. Oleh karena masing-masing mempunyai dasar
kemampuan berbuat disebabkan adanya tamyiz, maka tindakannya diperinci kepada
tiga macam hal berikut ini:
1) Tindakan yang semata-mata membawa manfaat bagi
dirinya seperti menerima pemberian (hibah dan sedekah). Tindakan semacam ini
dianggap sah tanpa izin walinya.
2) Tindakan yang semata-mata membawa mudharat kepada
dirinya, seperti memberikan harta (berhadiah). Tindakan semacam ini dianggap
tidak sah sekalipun ada izin walinya.
3) Tindakan yang menguntungkan, seperti melakukan
jual beli. Tindakan semacam ini dianggap sah bila diizinkan walinya.
c. Mempunyai ahliyyah al-ada’ yang penuh, yaitu orang
yang dewasa dan sehat akalnya. Maka ahliyyah yang sempurna dapat terealisasi
dengan kedewasaan dan berakal. Seluruh aktivitas mukallaf telah memiliki
dampak hukum, baik dalam perkara ibadah maupun muamalah. Hanya saja dalam
masalah akad, transaksi dan penggunanaan harta, walaupuan dia telah dewasa
(baligh), akan tetapi jika mereka dipandang tidak cakap, maka para ulama
sepakat tidak memperbolehkannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam
surah an-Nisa’; 5.
Ulama membagi masa yang dilalui oleh manusia
sampai mereka menjadi mukallaf yang sebenarnya, kepada:
1) Masa janin masih dalam kandungan
2) Masa setelah lahir dan sebelum mumayyiz
3) Masa setelah mumayyiz
4) Masa dewasa
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah
tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat
untuk semua umat yang beragama Islam. Hukum syara’ terbagi menjadi dua macam
yaitu hukum taklifi dan hukum wadh’i. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut
jumhur ulama ushul fiqih/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah,
karahah dan tahrim.
Hukum taklifi adalah sesuatu yang menuntut suatu pekerjaan dari mukallaf,
atau menuntut untuk berbuat, atau memberikan pilihan kepadanya antara melakukan
dan meninggalkannya. Bentuk-bentuk hukum taklifi menurut jumhur ulama ushul
fiqh/mutakallimin ada lima macam, yaitu ijab, nadb, ibahah, karahah dan tahrim.
Hukum wadh’i adalah firman Allah swt. yang menuntuk untuk menjadikan sesuatu
sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. bentuk-bentuk hukum
wadh’I ada yaitu sebab, syarat, mani (penghalang), rukhshah (keringanan) dan
Azimah.
Mukallaf yaitu orang
yang kepadanya diperlakukan hukum. Orang mukalaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum,
baik yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Seluruh
tindakan mukallaf harus dipertanggung jawabkan.
Ahliyyah adalah suatu sifat yang dimiliki seseorang, yang dijadikan ukuran
oleh Allah SWT untuk menentukan seseorang itu telah cakap dikenai tuntutan
syarak (hukum islam). Ahliyyah merupakan sifat yang menunjukan
seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh tindakannya dapa
dinilai oleh syarak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, Jakarta: Pustaka Amanni 2003
Amir Syarifuddin,. 1997. Ushul Fiqh. Ciputat:
Logos Wacana Ilmu
Abddul Ghofur Anshori, 2008, Hukum Islam Dinamika
dan Perkembangannya di Indonesia, Kreasi Total Media, Yogyakarta.
Koto, Alaiddin. 2011. Ilmu Fqh dan Ushul Fiqh
(sebuah pengantar). Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Khallaf, Abdul Wahab. 1970. Ilmu Ushul Fiqh.
Jakarta: Al-Najlis al-A’la al-Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah
_________, 1994. Ilmu Ushul Fiqh:
Semarang. Dina Utama Semarang
Muhammad Abu Zahrah. 1994. Usul Fiqih. Cetakan
Ulang, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus.
Rachmat Syafi’i. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung
: Pustaka Setia
Syafe’i, Rachmat. 2010. Ilmu
Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia
No comments:
Post a Comment