KONFLIK LAUT CINA SELATAN DALAM PANDANGAN REALISME
KONFLIK LAUT CINA SELATAN DALAM PANDANGAN REALISME
Latar Belakang
Konflik Laut China
Selatan (LCS) telah memberikan pengaruh yang sangat luas bagi lingkungan
strategis di kawasan Asia. Hingga saat ini konflik LCS masih menarik utnuk
dikaji paling tidak karena beberapa alasan.
- Pertama, konflik di kawasan tersebut
melibatkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur seperti
Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, Taiwan, dan China.
- Kedua, peluang terjadinya konflik
terbuka dan melibatkan instrumen militer antara negara-negara yang terlibat
masih berpotensi terjadi.
- Ketiga, terdapat keterlibatan
negara-negara major power di dalam konflik tersebut.
- Keempat, belum ada bentuk institusi
atau instrumen sosial yang cukup kredibel dalam menyelesaikan konflik di
wilayah LCS.
Hingga saat ini,
keenam negara yang mengklaim kawasan tersebut tetap berada pada posisi
masing-masing. Filipina misalnya, tetap mengklaim bahwa kawasan tersebut
merupakan kawasan Filipina Barat.
Tentunya hal ini membuat China keberatan atas klaim tersebut. Selain
Filipina, Vietnam juga melakukan hal yang serupa. Vietnam melakukan klaim bahwa LCS merupakan
kawasan Vietnam Utara berdasarkan bukti sejarah. Vietnam mengklaim telah
menguasai kawasan tersebut terutama kepulauan Spratly dan Paracel sejak abad ke
-17. Begitupula dengan Malaysia dan Brunei Darussalam yang melakukan klaim
wilayah tersebut atas dasar wilayah zona eksklusif ekonomi sesuai dengan UNCLOS
1982.
Persoalan konflik LCS
tidak hanya terletak pada posisi masing-masing pihak yang berkonflik, lebih
dari itu hingga saat ini belum ada mekanisme institusi sosial yang cukup
kredibel sebagai cara untuk menyelesaikan persoalan konflik di kawasan
tersebut. Berangkat dari persoalan diatas, maka ada beberapa persoalan yang
menarik untuk didiskusikan, bagaimana perkembangan konflik di kawasan LCS? Apa
tantangan-tantangan utama dalam persoalan konflik LCS? Apakah terdapat peluang
terhadap terjadinya sebuah transformasi konflik ke arah perdamaian pada konflik
di kawasan tersebut? Beberapa pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan persoalan-persoalan
yang coba untuk diulas dalam tulisan kecil ini. Sebelum membahas lebih jauh
tentang persoalan-persoalan diatas, maka pada bagian berikutnya dari tulisan
ini akan membahas berbagai pendekatan-pendekatan di dalam studi ilmu hubungan
internasional untuk menjelaskan persoalan konflik LCS.
Realisme
Realisme adalah
reaksi terhadap keabstrakan dan ”kedunia-lainan” dari filsafat idealisme. Titik
tolak utama realisme adalah bahwa objek-objek dari indera muncul dalam bentuk
apa adanya ( Knight, 2007:81). Realisme adalah suatu aliran filsafat yang luas
yang meliputi materialisme disatu sisi dan sikap yang lebih dekat kepada
idealisme objektif di pihak lain. Realisme adalah pandangan bahwa objek-objek
indera adalah riil dan berada sendiri tanpa bersandar kepada pengetahuan lain
atau kesadaran akal . Diketahuinya atau menjadi objek pengalaman, tidak akan
mempengaruhi watak sesuatu benda atau mengubahnya. Benda-benda ada dan kita
mungkin sadar dan kemudian tidak sadar akan adanya benda-benda tersebut, tetapi
hal itu tidak mengubah watak benda-benda tersebut. Benda-benda atau bojek
memang mungkin memiliki hubungan dengan kesadaran, namun benda-benda atau objek
tersebut tidak diciptakan atau diubah oleh kenyataan bahwa ia diketahui oleh
subjek ( Titus, 1984:335-336 ).
Aliran Realisme dalam
filsafat bersanding dekat dengan aliran Idealisme meski dalam posisi yang
dikotomik. Dalam pengertian filsafat, realisme berarti anggapan bahwa objek
indera kita adalah real.; benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan
bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannnya
dengan pikiran kita ( Titus, 1984:328 ). Realisme menegaskan bahwa sikap common
sense yang diterima orang secara luas adalah benar, artinya bahwa bidang alam
atau objek fisik itu ada, tak bersandar kepada kita, dan bahwa pengalaman kita
tidak mengubah fakta benda yang kita rasakan.
Dalam perspektif
epistemologi maka aliran realisme hendak menyatakan bahwa hubungan antara
subjek dan objek diterangkan sebagai hubungan dimana subjek mendapatkan
pengetahuan tentang objek murni karena pengaruh objek itu sendiri dan tidak
tergantung oleh si subjek. Pemahanan subjek dengan demikian ditentukan atau
dipengaruhi oleh objek ( Joad, 1936:366 ).
Realisme dalam
filsafat terdiri dari beberapa jenis, mulai dari personal realisme , realisme
Platonik atau konseptual atau klasik Asumsi yang dipakai adalah bahwa yang riil
itu bersifat permanen dan tidka berubah sehingga ide atau universal adalah
lebih riil daripada yang individual . Selain itu muncul pula jenis relisme yang
lebih menarik yang diwakili oleh Aristoteles. Menurutnya dunia yang riil adalah
dunia yang dirasakan sekarang, dan bentuk serta materi tak dapat dipisahkan.
Realitas justru terdapat dalam benda-benda kongkrit atau dalam perkembangan
benda-benda itu ( Titus, 1984:331).
Di Amerika Serikat
sendiri pada dasawarsa pertama dari abad ke-20 muncul dua gerakan realis yang
kuat, yaitu new realism atau neorealism dan critical realism. Neorealism adalah
serangan terhadap idealisme dan critical realism adalah kitrik terhadap
idealisme dan neorealism. Kelompok
neorealism menolak subjektivism, monisme , absolutisme dan pandangan-pandangan
yang menyatakan bahwa benda-benda yang nonmental itu diciptakan atau diubah
oleh akal yang mengetahui. Mereka mendukung doktrin common sense tentang dunia
yang riil dan objektif dan diketahui secara langsung oleh rasa indrawi.
Pengetahuan tentang sesuatu objek tidak mengubah objek tersebut. Pengalaman dan
kesadaran bersifat selektif dan bukan
konsitutif yang berarti bahwa subjek memilih untuk memperhatikan benda-benda
tertentu lebih dari pada yang lain dan subjek tidak menciptakan atau mengubah
benda-benda tersebut hanya karena subjek mengalaminya.
Objek tidak
dipengaruhi oleh adanya pengalaman subjek atau tidak adanya pengalaman subjek
tentang benda tersebut. Jika aliran idealisme menekankan akal atau jiwa sebagai
realitas pertama, maka aliran realisme cenderung untuk menganggap akal sebagai
salah satu dari beberapa benda yang keseluruhannya dinamakan alam dan juga
penekanan bahwa dunia luar berdiri sendiri dan tidak tergantung pada subjek.
Perhatian diarahkan bukan kepada akal yang memahami akan tetapi kepada realitas
yang dipahami. Dengan demikian maka realisme mencerminkan objektivisme yang mendasari
dan menyokong sains modern.
Realisme menerima
kenyataan bahwa dunia ini berbeda – beda tergantung kepada pengalaman
maisng-masing subjek. Realisme bertentangan secara tajam dengan idealisme.
Realisme adalah juga sikap untuk menjaga subjek dari penilaiannya terhadap
benda-benda, dengan membiarkan objek-objek berbicara sendiri kepada subjek.
Realisme melukiskan dunia ini sebagaimana adanya dan tidak menurut
keinginannya. Penekanannya, kepada dunia luar yang berdiri sendiri .
Dalam filsafat
pendidikan Realisme mendefinisikan dirinya sebagai aliran filsafat pendidikan
dengan basis dasar 3 kategori metafisika dan epistemologi bahwa dunia luar
berdiri tanpa tergantung keberadaan kita, realitas dapat diketahui melalui
pikiran manusia. ( Ornstein, 1985:191).
Laut Cina Selatan
Laut Cina Selatan
merupakan bagian dari samudra pasifik, yang meliputi sebagian wilayah dari
Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3.5 juta
km². Berdasarkan ukurannya, Laut Cina
Selatan ini merupakan wilayah perairan terluas atau terluas kedua setelah
kelima samudra. Laut Cina Selatan merupakan sebuah perairan dengan berbagai
potensi yang sangat besar karena di dalamnya terkandung minyak bumi dan gas
alam dan selain itu juga peranannya sangat penting sebagai jalur distribusi
minyak dunia, perdagangan, dan pelayaran internasional.
Secara geografis Laut
Cina Selatan terbentang dari arah barat daya ke Timur Laut, yang batas
Selatannya 3° Lintang Selatan antara Sumatra Selatan dan Kalimantan (Selat
Karimata), dan batas utaranya ialah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan ke
pesisir Fujian di Cina Daratan. Laut Cina Selatan terletak di Sebelah Selatan
Republik Rakyat Cina (RRC) dan Taiwan; di sebelah barat Filiphina; di sebelah
barat, Laut Sabah (Malaysia), Sarawak (Malaysia), dan Brunei; di sebelah utara
Indonesia; di sebelah Timur Laut Semenanjung Malaya (Malaysia) dan Singapura;
dan di sebelah Timur Vietnam.
Kawasan Laut Cina
Selatan bila dilihat dalam tata Lautan Internasional, merupakan kawasan yang
memiliki nilai ekonomis, politis, dan strategis. Sehingga menjadikan kawasan
ini mengandung potensi konflik serkaligus potensi kerja sama. Dengan kata lain,
kawasan Laut Cina Selatan yang memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam yang
terdapat didalamnya, serta peranannya yang sangat penting sebagai jalur
perdagangan dan distribusi minyak dunia, menjadikan kawasan Laut Cina Selatan
sebagai objek perdebatan regional selama bertahun-tahun.
Hal ini dapat
diketahui sejak tahun 1947 hingga saat ini tahun 2011. Dimana terdapat pertikaian atau saling klaim
antara negara yang mengaku memiliki dasar kepemilikan berdasarkan batas wilayah
laut atau perairan, seperti Republik Rakyat Cina (RRC), Vietnam, Filiphina,
Malaysia, Taiwan, dan Brunei Darussalam. Selain saling klaim di antara negara-negara
yang berlokasi di perairan Laut Cina Selatan tersebut, juga terdapat
kepentingan-kepentingan negara-negara besar seperti : Amerika Serikat, Rusia,
negara-negara Eropa Barat, Jepang, Korea, Taiwan dalam hal keperluan pelayaran
dan keperluan kandungan-kandungan sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi
yang terkandung di dalam wilayah Laut Cina Selatan tersebut.
Perairan Laut Cina
Selatan, di klaim oleh sejumlah negara. Republik Rakyat Cina (RRC) berebut
kepulauan Spartly dengan Brunei, Filiphina, Malaysia, Vietnam, dan Taiwan.
Sementara itu, kepulauan Paracel di klaim oleh Republik Rakyat Cina (RRC),
Taiwan, dan Vietnam. Ditelusuri dari akar permasalahannya, konflik yang
sebenarnya adalah mengenai klaim-klaim di wilayah perairan dan kepulauan di kawasan
Laut Cina Selatan yang terjadi mulai sejak Desember tahun 1947 dan terus
berlanjut hingga saat ini tahun 2011.
Analisis
Konflik Laut Cina Selatan dalam
Pandangan Realisme
Konflik laut china
selatan yang hingga kini tak kunjung usai antara 4 negara anggota ASEAN dan
China selalu menjadi isu utama keamanan yang dibahas antar negara-negara
anggota ASEAN. Benturan kepentingan antara negara-negara kawasan ASEAN dengan
RRC dalam perebutan wilayah laut China Selatan sangat rentan sekali melibatkan
militer masing-masing negara, belum lagi campur tangan negara super power
Amerika Serikat dalam kasus ini mengakibatkan konflik ini semakin memanas
karena AS mempunyai kepentingan ekonomi, politik dan militer di laut china
selatan. Maka tidak dapat dipungkiri jika konflik ini semakin meluas dan
menjadi konflik terbuka menggunakan kekuatan militer. Karena saat ini, jika
kita melihat di tataran Global AS dan RRC selalu bersaing dalam aspek ekonomi
maupun militer yang notabene kedua negara ini sangat berbenturan ideologi.
Laut china selatan
memang merupakan kawasan yang strategis dimana dapat memberikan pengaruh baik
langsung maupun tak langsung terhadap kepentingan kawasan dan AS, negara-negara
anggota ASEAN maupun RRC. Laut China Selatan secara geografis berada
ditengah-tengah antara China dan negara-negara ASEAN dimana kawasan ini sangat
strategis karena merupakan jalur pelayaran perdagangan dan jalur komunikasi
internasional yang menghubungkan samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Jika dilihat dari
kacamata realis alasan China meningkatkan kekuatan militernya karena China
sebagai negara komunis merasa cemas akan keselamatan dalam mengakomodasi
kepentingan nasionalnya dalam hubungan persaingan dengan negara-negara lainnya
terutama AS. China menganggap dengan semakin kuatnya kekuatan militer secara
otomatis akan ditakuti oleh negara-negara lain dan akan memperbesar peluang
untuk kepentingan nasionalnya dapat tercapai, hal ini nampak ketika dalam kasus
sengketa laut china selatan china mengirim kapal induk miliknya di kawasan laut
china selatan. China sebagai negara komunis berusaha agar bagaimanapun caranya
akan terus memperbesar power walau sekalipun AS terlibat dalam kasus sengketa
ini, karena dalam militer pun China sangat berkembang pesat dan bersaing dengan
AS. maka dari itu China tidak gentar untuk melawan keempat Negara anggota ASEAN
karena dalam militerpun China jauh lebih kuat jika dibandingkan militer
gabungan dari keempat negara anggota ASEAN. Dalam pandangan realisme negara China
akan terus memperjuangkan kepentingan nasionalnya agar China dapat tetap
Survive sebagai negara komunis yang memiliki kekuatan besar dan akan terus
memperbesar power selama barang-barang China masih beredar luas di pasaran
global.
China terlihat sangat
cemas sekali jika keamanan negaranya terganggu, terlihat ketika pesawat
pengintai dan kapal militer milik AS masuk Zona Ekonomi Eksklusif milik China,
dengan cepat china langsung melakukan counter dengan mengusir ataupun memotong
penerbangan militer AS yang berada perbatasan China. Hal ini menunjukkan bahwa
China sangat siap menjaga keamanan nasionalnya dari militer asing apapun alasan
mereka berada di kawasan China termasuk Zona Ekonomi Eksklusif milik China
untuk melindungi rakyatnya dari ancaman luar. Namun, disisi lain kecemasan
china ini membuktikan bahwa china adalah negara yang serakah dimana sangat
takut sekali jika keuntungannya di ambil alih oleh negara.
Dalam pandangan power
centrism sangat nampak jelas china lah yang mempunyai power terbesar dalam
konflik laut china selatan dengan 4 negara anggota ASEAN (Filipina, Vietnam,
malaysia, Brunei) dan juga taiwan.
Dilihat dari kekuatan militernya saja china sudah memiliki kartu emas
untuk memenangkan sengketa ini ketika nantinya konflik ini pecah menjadi perang
militer. Larangan China atas operasi kapal militer AS di ZEE China membuktikan
bahwa sistem internasional yang dalam hal ini PBB dianggap tidak memiliki peran
penting dan china lah yang memiliki power centrism terkuat, walaupun dalam
kasus ini AS mengklaim larangan China itu tidak berdasar karena dalam United
Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCOS) aturan tentang operasi kapal militer di kawasan ZEE tidak
diatur. China melihat AS sebagai pelanggar kedaulatan yang masuk tanpa izin ke
dalam negaranya dengan mengoperasikan kapal dan pesawat militer di wilayah
China tanpa mempunyai alasan yang jelas, maka dari itu china berhak melarang
dan juga menangkap militer-militer AS. Kegagalan menegakkan hukum dan
norma-norma internasional PBB dapat membahayakan kepentingan AS di
wilayah-wilayah lain. Dalam perspektif realis, China menganggap semua negara
itu sama dan memandang kondisi sistem internasional itu bersifat anarki karena
setiap negara berhak mengatur kedaulatannya masing-masing tanpa campur tangan
organisasi internasional dan hanya negara-negara hegemon saja yang memiliki
power terutama china. Selain itu, China memainkan peran utama yang memainkan
power nya sebagai aktor dalam kasus ZEE ini tanpa menghiraukan PBB sebagai
suprastate dalam sistem internasional yang telah memiliki aturan-aturan hukum
tentang wilayah laut dan perairan.
Kesimpulan
China merupakan
sebuah negara yang unitary actor dan
rasional yang haus akan power. Maka dari
itu china berusaha untuk memperbesar powernya dengan jalan meningkatkan
kapabilitas militer melalui penambahan alat-alat militer dan juga menambah
tenaga militer merka. Disamping itu untuk mengakomodasi kepentingan politik dan
ekonomi nasional, china memperbesarnya dengan cara mengambil alih wilayah laut
china selatan sepenuhnya yang hingga ini masih menjadi konflik. Hal ini sesuai
dengan pandangan realis tentang negara adalah egois yang mementingkan
kepentingan nasionalnya agar dapat terakomodasi sepenuhnya dan power dimiliki
oleh negara-negara hegemon dimana kekuatan ini digunakan untuk memperbesar
kepentingannya. Namun realisme gagal menjelaskan mengenai groupism bahwa dengan
beraliansi negara dapat membentuk sebuah balance of power, karena china tanpa
menjalin aliansi dengan negara lain dapat melawan negara-negara anggota ASEAN
yang beraliansi. China lebih memiliki power
besar dibandingkan lima negara lawan yang beraliansi hingga balance of
power yang ada tidak seimbang.
No comments:
Post a Comment