SEJARAH PERANG SALIB
Dalam sejarah Perang
Salib, kaum Muslimin sangat mengenal sosok pejuang Salahuddin al-Ayubi
dibanding Nuruddin Mahmud Zanki. Namanya tak setenar Salahuddin, sang pembebas
kota Yerussalem dari kekuasan pasukan Salib (selanjutnya dibaca salib). Meski demikian,
Nuruddin-lah yang pertama kali menggelorakan semangat perjuangan itu.
Ia lahir hari Ahad 17
Syawal 511 H (Februari 1118 M), 20 tahun pasca jatuhnya al-Quds ke tangan
pasukan Salib. Perawakannya tinggi, tampan dengan kulit agak kehitaman dan
sedikit berjenggot. Ayahnya, Imanuddin Zanki, adalah penguasa Mosul dan Irak,
sekaligus mujahid yang tangguh.
Nuruddin mewarisi
tampuk kepemimpinan ayahnya yang syahid di medan jihad pada 5 Rabiul Awal 541
H. Dua misi besar yang diperjuangkan Nuruddin yakni menyatukan umat Islam dan
membebaskan negeri-negeri Islam dari jajahan pasukan Salib. Ia memimpin perang
dengan keberanian dan tawakal yang tinggi kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala (SWT).
Seorang ulama Qutbuddin Annisaburi
begitu khawatir akan keberanian Nuruddin. “Demi Allah, jangan gadaikan nyawamu
dan Islam. Jika Anda gugur dalam peperangan, maka tidak seorang pun kaum
Muslimin yang tersisa pasti akan terpenggal oleh pedang,” ujar Qutbuddin.
Maka ia pun menjawab, “Siapa Nuruddin
itu, sehingga ia dikatakan demikian? Mudah-mudahan karena (kematian) ku, Allah
memelihara negeri ini dan Islam. Itulah Allah yang tiada Tuhan yang berhak
disembah dengan hak melainkan Dia.”
Nuruddin adalah
pemimpin yang selalu optimis. Pembebasan Baitul Maqdis di Yerusalem dari
genggaman pasukan Salib adalah hal yang paling didambakannya.
Hingga tahun 569 H/1173 M, kerja keras
Nuruddin untuk menyatukan kekuatan umat Islam yang terkotak-kotak dalam
kerajaan-kerajaan kecil mencapai puncaknya. Berbagai pertempuran dahsyat antara
umat Islam yang dipimpinnya dengan pasukan Salib kerap terjadi. Berbagai
serangan yang dilakukannya berhasil melemahkan pasukan Salib hingga terpecah
belah. Walhasil, sekitar 50 kota dan benteng yang sebelumnya dikuasai pasukan
Salib berhasil direbut.
Pada 570 H/1174
M, kekuatan Islam telah terbentang dari Iraq ke Syria, Mesir, hingga
Yaman. Saat yang dinanti-nanti untuk merebut Baitul Maqdis pun kian dekat.
Namun takdir Allah SWT berkata lain. Nuruddin meniggal akibat penyakit
penyempitan tenggorakan. Kepemimpinan kemudian dipikul muridnya, Shalahuddin
al-Ayyubi.
Pemimpin yang Adil
“Sungguh ia telah
menutupi bumi dengan biografinya yang indah dan keadilannya. Aku telah membaca
biografi para raja, namun aku tidak melihat, sesudah Khulafa'ur Rasyidin dan
Umar bin Abdul Aziz, yang lebih baik daripada biografinya dan tidak ada yang
lebih memperhatikan keadilan daripadanya,” demikian komentar Ibnu Katsir
terhadap Nuruddin Mahmud Zanki.
bnu Katsir melanjutkan,
ia tidak pernah membiarkan pungutan (pajak) dan membebaskan kesulitan dalam
negerinya sekuat tenaga. “Ia juga sangat mengagungkan syariat dan memperhatikan
hukum-hukum syariat tersebut,” tandas Ibnu Katsir.
Ia juga membangun forum keadilan (Dar
Al-'Adl) di negerinya. Ia duduk bersama hakim di sana untuk melayani orang
yang dizhalimi, sekalipun ia seorang Yahudi, dari orang yang berbuat zhalim,
sekalipun ia putranya atau menterinya yang paling berpengaruh.
Pakar sejarah, Imam Adz-Dzahabi berkata,
“Penguasa Syam, seorang raja yang adil, dialah Nuruddin.” Ia juga berkata,
"Adalah Nuruddin pembawa dua panji: keadilan dan jihad. Jarang sekali mata
melihat orang sepertinya.”
Shalih dan Takwa
Nuruddin Mahmud Zanki
dan istrinya, Ashamat ad-Din Khatun binti al-Atabik, adalah pasangan yang gemar
shalat malam. Ia juga senantiasa menjaga shalat berjamaah. Ibnu Katsir
mengakuinya, “Nuruddin itu kecanduan shalat malam, banyak berpuasa dan berjihad
dengan akidah yang benar.”
Selain itu Nuruddin
juga dikenal sebagai pribadi yang zuhud terhadap dunia. Begitu zuhudnya, hingga
konsumsi orang paling miskin pada zaman itu masih lebih tinggi dari konsumsi
yang ia makan setiap hari. Tanpa simpanan dan tidak pula menentukan dunia untuk
dirinya sendiri.
Ketika isterinya
mengeluhkan beratnya penderitaan dan kesusahan hidup, Nuruddin memberinya tiga
toko pribadi di kota Homs. Lalu dia berkata, “Itu semua yang aku miliki.
Dan jangan berharap kepadaku untuk meletakkan jariku pada uang umat yang
diamanatkan kepadaku. Aku tidak akan mengkhianatinya. Dan, aku tidak mau
menceburkan diri dalam siksa Allah hanya karenamu.”
Sabth bin al-Jauzi
berkata, “Ia memiliki beberapa pohon kurma. Ia memintal benang dan membuat
manisan, lalu menjualnya secara sembunyi-sembunyi dan memakan dari hasil
penjualannya."
Cerdas dan Berwawasan
Ibnu Katsir berkata,
“Nuruddin sosok yang pintar, cerdas dan sangat melek akan situasi
kontemporer”. Imam adz-Dzahabi juga berkata, “Nuruddin baik tulisannya, banyak
membaca, shalat berjamaah, berpuasa, membaca al-Qur’an, bertasbih, hati-hati
dalam makanan, menjauhi dosa-dosa besar, meniru-niru para ulama dan orang-orang
pilihan.”
Ia mengarang buku tentang konsep jihad.
Ia adalah pengikut mazhab Hanafi yang menadapat izin untuk meriwayatkan
Hadits-Hadits. Di dalam majelisnya tidak dibicarakan hal-hal kecuali ilmu,
agama, dan berkonsultasi tentang jihad. Belum pernah didengar darinya kalimat
keji, dalam kondisi marah atau ceria. Ia benar-benar seorang pendiam.
Dialah mujahid yang paling ditakuti,
tapi lembut dan penyayang
No comments:
Post a Comment